Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Yakni memberontak kepada penguasa umat muslim yang sah! Dan pemberontakan itu sangat dilarang dalam islam.
Ulama’ telah menjelaskan bahwa kelompok khawarij adalah salah satu yang memberontak melawan Imam yang benar (Al-Imam Al Haq) pada masa ‘Ali bin Abi Thalib, dan mereka secara terbuka tidak taat kepadanya, dan mereka bersekongkol melawannya. Jadi kaum yang memberontak kepada pemimpin umat islam yang sah, adalah seorang yang berpaham khawarij, dan para khawarij dapat dengan mudahnya mengatakan orang yang tak satu jama’ah dengan mereka adalah orang kafir.
Lalu apakah mereka yang memberontak terhadap pemerintah yang berhukum demokrasi adalah khawarij? Apakah saya termasuk khawarij karena memberontak terhadap pemerintah Indonesia dengan mengatakannya bahwa Indonesia adalah negara kufur? Apakah saya khawarij karena saya mengatakan mereka yang berhukum dengan agama demokrasi adalah kafir?
Jika kami khawarij, maka dimanakah Imam yang benar saat ini, yang bisa (paling berhak) memberikan label kepada seseorang yang memberontak melawannya sebagai seorang ‘Khawarij’?
Dimanakah ‘Ali bin Abi Thalib hari ini?!
Dan jika kita Khawarij, maka siapakah kamu (wahai para rezim dan wahai Ulama yang loyal kepada mereka)?! Apakah kalian ‘Ali dan Shahabat-shahabatnya?!
Dan apakah ‘Ali r.a. mengambil hukum kekuasaannya dari undang-undang orang Persia dan orang-orang Roma ?!
Apakah dia memerintah berdasarkan pada “Sosialisme” dan “demokrasi”? Atau dia adalah seorang penyeru “nasionalisme” dan “kedamaian sosial” ?
Atau pernahkah ‘Ali bersekutu dan mendukung Yahudi?!
Atau pernahkah ‘Ali meninggalkan Hudud dari Allah dan mengimplementasikan hukuman yang tidak pernah Allah kirimkan ke muka bumi ini? Atau dapatkah itu dikatakan, menyeru untuk menerapkan Khilafah adalah sebuah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan?!
Atau pernahkah ‘Ali berperang melawan kesucian dan kemurnian, menyeru kepada “kebebasan” wanita dan untuk membiarkan wanita bebas untuk melakukan perjalanan?!
Atau apakah ‘Ali salah satu orang yang telah memisahkan Al- Qur’an ke dalam bagian-bagian (yaitu mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian)? Mereka yang mengatakan: “Tidak ada Islam dalam politik, dan tidak ada politik dalam Islam”?!
Ketahuilah! Imam ‘Ali r.a., beliau sama sekali tidak pernah melakukan semua itu. Tetapi dia yang paling ingin menerapkan hukum Allah, dan memerintah dengan Kitab Allah, serta Sunnah Rasul-Nya Saw.. Sehingga tidak ada keraguan, bahwa seseorang yang memberontak melawan Al Imaam Al ‘Adil pada masa Imam Ali r.a dia benar-benar seorang Khawarij.
Maka, seseorang yang memberontak melawan seorang penguasa (yang tidak melaksanakan hukum Islam) bukanlah seorang Khawarij; tetapi dia adalah seorang Muslim, seorang Mu’min, seorang Muttaqi (bertaqwa).
Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H,” Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”
Namun, kaisar ini menolak untuk menerapkan hukum islam, maka muncullah wacana untuk memerangi mereka, Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, ”Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh Ibnu Taimiyah berkata, ”Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan mereka melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.”
Jadi, realitanya, negara ini adalah negara YANG MERASA PALING BERHAK MEMIMPIN DENGAN HUKUM KUFURNYA, MEREKA MENOLAK PEMIMPIN YANG INGIN BERHUKUM DENGAN AL-QUR’AN DAN ASSUNNAH…. dan begitu juga beberapa ulama-ulama dan tokoh-tokoh publik, mereka membela-bela dan menolong para pemimpin negara ini untuk terus berkuasa dengan hukum kufurnya, dan mereka mengkafirkan, membunuh orang-orang yang ingin menegakkan kepemimpinan dibawah naungan Alquran dan Assunnah. Maka kubertanya pada kalian… siapakah yang khawarij?
Maka, seseorang yang membela kehormatan kaum Muslimin, berjihad di jalanNya, dan berada di front terdepan melawan orang-orang kafir, bukanlah seorang Khawarij, tetapi dia adalah seorang Mujahid, seorang Muwahhid, seorang yang selalu ada dalam umat ini, Al Firqotun Najiyah, kelompok yang selamat, dan At Toifah Al Mansuroh, kelompok yang akan mendapatkan kemenangan dari Allah Swt.
BOLEH MEMBERONTAK?
Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [QS. al-Nisaa’:59]
Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.”[HR. Ahmad].
Di ayat tersebut juga terkandung rahasia bahwa, yang boleh ditaati hanyalah pemimpin yang beriman, “dan ulil amri di antara kalian”, yang dimaksud “kalian” disini ialah orang beriman, sebagaimana tertera pada kalimat sebelumnya, ”Hai orang-orang yang beriman”… maka bukankah Allah telah memvonis mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah bukan orang-orang yang beriman?
Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,”Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..”Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah,“jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”
Tapi tentu kita tahu, Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amri), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:
“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadaku..” [HR. Bukhari]
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.” [HR. Bukhari]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.” [HR. Bukhari]
Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kîd) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apa pun.
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq, dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:
“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!‘ Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:
“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih sholat.”
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
“Sabda Nabi saw, “(Satukûnu umarâu fa ta’rifûa wa tunkirûn faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radhiya wa tâba’a, qâlû: afalâ nuqâtiluhum? Qâla: Lâ…mâ shallû)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radhiya wa tâba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridhoi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukût (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridho dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalâ nuqâtiluhum? Qâla” Lâ, mâ shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
Sehingga jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.
Maka ketahuilah, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari].
Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.”
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
Imam Nawawi, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (pemerintahan) tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”
Bagaimana mungkin kita taat kepada seorang pemimpin, sedangkan pemimpin kita adalah orang yang memerangi agama kita…. bagaimana mungkin kita taat kepada seorang pemimpin, sedangkan pemimpin kita adalah orang yang menjual rahasia dan aset kaum muslimin kepada orang-orang kafir…. bagaimana mungkin kita taat kepada seorang pemimpin, sedangkan pemimpin kita adalah orang-orang yang melindungi dan menolong orang kafir yang memerangi umat muslim…… bagaimana mungkin kita taat kepada seorang pemimpin, sedangkan pemimpin kita adalah orang yang mencuri (korupsi) harta kaum muslimin… bagaimana mungkin kita taat kepada seorang pemimpin, sedangkan pemimpin kita adalah orang yang mendukung kafir untuk melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim! Bagaimana mungkin Allah memerintahkan untuk taat kepada pemimpin yang seperti itu??
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama suu’yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”.