Ada banyak hal yang tak kita sukai justru hadir menyapa hidup kita. Menjadi bagian takdir yang tak bisa kita hindari, ridha atau tidak ridha. Dan memang demikian adanya. Ia tak kan pernah menanyakan pada kita tentang kesediaan, kesiapan dan keikhlasan menjalaninya. Ia bisa hadir pada kehidupan kita kapan saja. Dan menjadi hal sulit dan menyulitkan ketika harus dijalani dengan ”ruh” keterpaksaaan.
Hidup, adalah rangkaian demi rangkaian episode yang telah diskenariokan. Diatur sedemikian rupa dengan komposisi perhitungan dan pertimbangan yang sangat teramat tepat. Dan kita manusia, yang menjadi komponen utama dari hidup, telah dipilih olehNYA dalam amanah yang luar biasa. Keluarbiasaan yang Allah sendiri, sang pemilik kehidupan, menggambarkannya pada gunung dalam ketidak-sanggupan menerima. Ya, amanah sebagai khalifah fil ard.
Sesungguhnya, tak ada yang begitu menginginkan kita menjadi baik, seperti keinginanNYA. Tak ada yang begitu detail memperhatikan dan mengurus kita, seperti yang dilakukanNYA. Begitu teramat kasihnya Allah SWT pada kita, lebih antusias dalam batas keantusianan kita mendekatiNYA dengan berjalan, IA menyambutnya dengan berlari.
Sekali lagi, tak pernah ada yang begitu menginginkan kita menjadi baik, seperti keinginanNYA. Dan pada bagian-bagian takdir yang tak pernah kita sukai, sejatinya adalah tetap menjadi takdir-takdir terbaik yang telah diciptaNYA, dalam mengajarkan kita menjadi semakin baik. Hingga dengan energi-energi kebaikkan itu, kita berdaya menjalankan fungsi diri sebagai khalifah fil ard.
Maka menjadi alasan kuat yang harus diyakini, bahwa setiap hal yang hadir dalam hidup kita, yang mempergulirkan dua hal berbeda bahkan bertolak belakang, adalah pengondisian sebaik-baik keadaan. Beruntunglah setiap diri yang mampu belajar dan mengambil hikmah pada perguliran-perguliran episode itu. Hinngga mampu melahirkan sikap sejati seorang muslim, sikap yang pernah disabdakan Rasullullah SAW, bahwa sesungguhnya begitu mengagumkannya setiap keadaan seorang muslim. Bila ia ditimpa musibah dan ia bersabar, maka itu adalah kebaikkan baginya. Dan jika ia ditimpa keberuntungan dan ia bersyukur, pun menjadi kebaikkan baginya .
Suka atau tidak suka, terpaksa atau rela, adalah pilihan sikap dalam bentukan diri yang menjadi tolak ukur bagaimana sejatinya kita memandang setiap takdir yang datang menyapa. Gambaran jelas tentang bagaimana dan seberapa dalam keimanan menghujam di dalam dada, yang disuguhkan dari sketsa-sketsa rangkaian episode hidup dalam urutan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Masa lalu, yang telah terunut, itulah takdir. Dimana kita meletakkan banyak hal sebagai ibrah. Menjadi cermin siapa kita di masa sekarang.
Masa sekarang, yang sedang kita runut, itulah pilihan-pilihan di cipta, misi dilakukan, dan ruang ikhtiar dioptimalkan untuk pergerakan pencapaian keinginan. Prediksi seperti apa kita di masa depan.
Dan masa depan, hal gaib yang secara sunnatullah tercipta dari pilihan masa sekarang. Pada masa inilah visi diletakkan. Menjadi yang dituju dalam rentetan perjalanan dari masa ke masa.
Pilihan, itulah kata kuncinya. Kita diberi kebebasan untuk memilih, karena memang hidup pada kenyataannya adalah berbilah pilihan. Dengan tegas dua hal berbeda itu ada, kebaikkan bersaing dengan kebatilan, kebenaran bersaing dengan kejahatan dan keindahan bersaing dengan keburukan. Mau memenangkan persaingan yang mana kita, itu adalah pilihan dengan segala komitmennya. Karena pada bagian itu kemudian kita berada dan menerima konsekuensi.
Sementara jelas adanya, bahwa hidup tak pernah menyediakan pilihan abu-abu. Hidup tidak abu-abu! Jika kita tak berada dalan kebenaran, maka sudah pasti kita pada bagian kebatilan, jika kita tidak baik, maka kita adalah jahat, pun jika kita tidak menyukai keindahan, maka sesungguhnya selera kita adalah keburukan.
Pada sisi yang lain, Allah swt telah menfasilitasi kita untuk memilih pada pilihan-pilihan itu dengan fasilitas akal, hati dan cita rasa (feel/insting).
Akal, yang akan mendeteksi tentang sebuah kebenaran atau kebatilan. Hati, yang akan merasakan sebuah kebaikkan atau kejahatan. Dan cita rasa, yang akan menyuguhkan selera indah atau buruk.
Pun demikain, Allah telah mengilhamkan pada kita dua jalan, yaitu jalan keselamatan dan jalan kesesatan. Dan tinggal bagaimana kemudian kita merespon dari semua hal yang telah Allah rancang dan anugerahkan kepada kita.
Merespon, sejatinya ekspresi pertama hati yang telah diciptanya dalam kefitrahan cenderung kepada kebaikkan. Itulah korelasinya mengapa kita harus bersegera kapada kebaikkan, bersegera mengerjakan urusan yang lain jika satu urusan telah diselesaikan. Karena bersegera, minimal menutup kesempatan syetan menggoda dan membelokkan dari kecenderungan kebaikkan itu.
Dan pada akhirnya, hidup tetaplah akan menjadi rangkaian demi rangkaian episode yang menggilirkan kedukaan dan kesukaan, keberuntungan dan kerugian, kesuksesan dan kegagalan. Sebagai ujian pengukur kualitas diri dihadapan sang pemilik kehidupan, Illah semesta alam. Maka, salayaknya sikap terbaik kita sebagai seorang muslim adalah ridha terhadap setiap peristiwa yang sudah terjadi, bertawakal dalam ikhtiar luar biasa pada setiap tapak kehidupan agar tetap bernilai baik, dan tak mudah berputus asa pada setiap hal baik yang masih saja belum terwujud. Dan di ujungnya, lahirkan pribadi luar biasa, pribadi yang tak pernah mengeluh pada setiap takdir yang menerpanya, dalam kesadaran penuh memahami hakikat kehidupan. Karena pada hakikatnya memang boleh jadi hal yang tak kita sukai justru itu baik bagi kita, dan sebaliknya.
Sumber: Amira