Anak merupakan generasi pewaris dan penerus pembangunan bangsa, baik buruknya pendidikan yang mereka terima dan alami akan turut menentukan baik buruknya kelangsungan warisan pembangunan yang ditinggalkan pendahulunya. Olehnya Bangsa Indonesia menetapkan Tanggal 23 Juli sebagai simbol dari pernyataan kepedulian terhadap anak-anak dengan memperingatinya sebagai Hari Anak Nasional (HAN), makna peringatan Hari Anak bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin tidak ada artinya, terutama bagi mereka yang secara ekonomi (materi) berkelebihan karena anak-anak mereka setiap hari tidak pernah berkekurangan baik sandang, pangan, pakaian termasuk mainan dan rekreasi, tetapi bagi sebagian masyarakat, hari anak memiliki makna yang amat besar terutama anak-anak yang secara sosial tersisih/terpinggirkan dan ketinggalan dalam sistem pendidikan, dalam artian anak-anak yang kehilangan haknya disekolah akibat miskin dan terkebelakang serta akibat kerusuhan antar kelompok dibeberapa daerah yang membuat mereka harus mengungsi dan kehilangan keluarga serta masa depan. Karena Pada peringatan Hari Anak Nasional ini Pemerintah dan kalangan pengusaha bahkan selebritis akan memberikan “perhatian ekstra” dengan publikasi besar-besaran di televisi maupun media cetak tentang anak-anak ini, lengkap pula dengan pemberian bantuan berupa peralatan sekolah, seragam dan beasiswa.
Anak-anak ini oleh masyarakat kelas menengah keatas ataupun kaum intelektual disebut sebagai anak miskin, anak terlantar atau anak jalanan. Anak-anak miskin jalanan dan terlantar ini dalam kehidupannya sehari-hari harus bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mereka harus panas-panasan dibawah terik matahari ataupun berhujan-hujanan. Anak-anak seperti ini bila diperkotaan dapat dilihat didaerah-daerah pembuangan sampah sebagai pemulung sampah, dijalanan sebagai pengemis, pengamen, penjual rokok, penjual koran, tukang semir sepatu, tukang parkir, polisi cilik (pak ogah) di simpang jalan, pengelap kaca mobil di sekitar parkiran, penyewa (ojek) payung dimusim hujan dan penjual kantong plastik (kresek) atau sebagai pengangkut barang (bakul pasar) dipasar-pasar tradisional serta kernet/kondektur pada bus antar kota dan kecamatan sedangkan anak perempuan biasanya melakukan pekerjaan mengasuh anak yang lebih kecil dan bekerja sebagai pembantu dikeluarga-keluarga lain. Didaerah pedesaan anak-anak tersebut dapat dilihat didaerah-daerah aliran sungai yang berbahaya, di lokasi-lokasi pertanian/perkebunan atau didaerah pesisir pantai/nelayan. Fenomena anak jalanan itupun akhir-akhir ini mulai bahkan semakin ramai di beberapa kota daerah khususnya di pusat-pusat kota dan jalan-jalan raya yang mobilitas kendaraannya tinggi, dipasar-pasar tradisional, terminal antar kota/kecamatan.
Riset terhadap anak jalanan menggambarkan bahwa, persepsi tentang mereka berkaitan dengan stigma kekerasan, kriminalitas dan gangguan sosial. Anak jalanan, di samping menimbulkan masalah sosial, seperti keamanan, ketertiban lalulintas, dan kenyamanan, juga memunculkan tindakan kriminal terhadap anak jalanan itu sendiri. Mereka menjadi komunitas yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan orang dewasa, penggarukan petugas ketertiban kota, berkembangnya penyakit, dan konsumsi minuman keras serta zat adiktif atau narkoba.
Dalam keadaan seperti itu, tidak berlebihan jika anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. Melalui sitmulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah nilai-nilai baru dalam perilaku yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksplotasi terhadap anak-anak jalanan lainnya.
Anak-anak ini oleh masyarakat kelas menengah keatas ataupun kaum intelektual disebut sebagai anak miskin, anak terlantar atau anak jalanan. Anak-anak miskin jalanan dan terlantar ini dalam kehidupannya sehari-hari harus bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mereka harus panas-panasan dibawah terik matahari ataupun berhujan-hujanan. Anak-anak seperti ini bila diperkotaan dapat dilihat didaerah-daerah pembuangan sampah sebagai pemulung sampah, dijalanan sebagai pengemis, pengamen, penjual rokok, penjual koran, tukang semir sepatu, tukang parkir, polisi cilik (pak ogah) di simpang jalan, pengelap kaca mobil di sekitar parkiran, penyewa (ojek) payung dimusim hujan dan penjual kantong plastik (kresek) atau sebagai pengangkut barang (bakul pasar) dipasar-pasar tradisional serta kernet/kondektur pada bus antar kota dan kecamatan sedangkan anak perempuan biasanya melakukan pekerjaan mengasuh anak yang lebih kecil dan bekerja sebagai pembantu dikeluarga-keluarga lain. Didaerah pedesaan anak-anak tersebut dapat dilihat didaerah-daerah aliran sungai yang berbahaya, di lokasi-lokasi pertanian/perkebunan atau didaerah pesisir pantai/nelayan. Fenomena anak jalanan itupun akhir-akhir ini mulai bahkan semakin ramai di beberapa kota daerah khususnya di pusat-pusat kota dan jalan-jalan raya yang mobilitas kendaraannya tinggi, dipasar-pasar tradisional, terminal antar kota/kecamatan.
Riset terhadap anak jalanan menggambarkan bahwa, persepsi tentang mereka berkaitan dengan stigma kekerasan, kriminalitas dan gangguan sosial. Anak jalanan, di samping menimbulkan masalah sosial, seperti keamanan, ketertiban lalulintas, dan kenyamanan, juga memunculkan tindakan kriminal terhadap anak jalanan itu sendiri. Mereka menjadi komunitas yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan orang dewasa, penggarukan petugas ketertiban kota, berkembangnya penyakit, dan konsumsi minuman keras serta zat adiktif atau narkoba.
Dalam keadaan seperti itu, tidak berlebihan jika anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. Melalui sitmulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah nilai-nilai baru dalam perilaku yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksplotasi terhadap anak-anak jalanan lainnya.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, terimakasih telah berkunjung :)